Illegal, unregulated, unreported fishing (IUU Fishing)


Hampir 2 bulan ini saya sering sekali membaca berita tentang Illegal fishing. Berhubung Menteri Kelautan dan Perikanan di kabinet Republik Indonesia yang baru sedang hangat-hangat memfokuskan diri memberangus mafia perikanan dan menenggelamkan kapal-kapal yang menangkap ikan di wilayah perairan RI.

Katanya sih jumlah ikan di dunia ini yang bisa ditangkap sudah jauh berkurang dari beberapa puluh tahun yang lalu. Melihat dari data keluaran FAO ini sepertinya masuk akal juga kalau sekarang setiap negara makin berebut luas wilayah laut demi mendapatkan jumlah ikan yang banyak untuk bisa ditangkap dan diperjual belikan di dalam negeri ataupun di -ekspor. Pada tahun 2030 diprediksikan jumlah konsumsi individu terhadap produk perikanan akan meningkat dari 16.2 kg/orang menjadi lebihd dari 20 kg/orang (Ifremer, 2007).

status of world fish 2005Gambar 1. Status of world fish stocks in 2005

Saya jadi bertanya sebenarnya illegal fishing itu apa ya?

Iseng-iseng browsing, saya menemukan definisi yang cukup menarik perhatian di salah satu publikasi keluaran The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang berjudul Space Technologies and Climate Change – IMPLICATIONS FOR WATER MANAGEMENT, MARINE RESOURCES AND MARITIME TRANSPORT

type of illegal fishingGambar 1. Different types of illegal, unregulated, unreported (IUU) fishing

Source: Adapted from Marine Resources Assessment Group Ltd., 2005.

Dalam gambar diatas dapat diterangkan secara grafis kegiatan apa saja yang tergolong ilegal fishing. Untuk pengertian lebih jelasnya berikut ini saya sadur pengertian yang saya dapat dalam bahasa inggris untuk tidak mengurangi artinya jika saya terjemahkan sendiri.

  • Illegal fishing activity is understood as fishing without a licence or fishing
    by contravening the terms and conditions of a licence (e.g. using illegal gear,
    catching over the allocated quota of fish, fishing in closed areas and/or
    seasons, exceeding by-catch limits).
  • Unreported fishing activities can also include a diversity of actors
    who misreport their fishing to the relevant national authority or regional
    organisation.
  • Unregulated fishing includes fishing on the high seas by “free riders”, i.e. those
    who fail to sign up to regional management arrangements and refuse to
    comply with the measures established by those arrangements. It also includes
    fishing on the high seas where there are no regional management
    arrangements in place

Dengan membaca ini kita bisa lebih sadar arti dan terminologi dari illegal fishing agar pada saat kita berkomentar terhadap hal ini kita juga punya dasar, gak asal “nyeplak” aja.

Referensi:

  1. Marine Resources Assessment Group Ltd (2005), Review of Impacts of Illegal, Unreported
    and Unregulated Fishing on Developing Countries, Final Report, Prepared for the UK’s
    Department for International Development (DFID), July.
  2. FAO (2007), The State of World Fisheries and Aquaculture 2006, FAO, Rome.
  3. OECD (2008), Space Technologies and Climate Change : Implications for water management, marine resources and maritime transport, OECD, Paris, ISBN 978-92-64-05413-4

Arti Nama Saya, Boleh Untuk Percaya tapi Disarankan Tidak


Berangkat dari Link yang ada di blog temen saya si Lupi, akhirnya ikut-ikutan mengartikan nama sendiri. Hasilnya, sudah bisa ditebak. salah semua kecuali bagian yang mengandung unsur “Lucky”. LOL

You Are Charming and Eloquent

You are influential and persuasive. You tend to have a lot of power over people.
Generally, you use your powers for good. You excel at solving other people’s problems.
Occasionally, you do get a little selfish and persuade people to do things that are only in your interest.

You are a very lucky person. Things just always seem to go your way.
And because you’re so lucky, you don’t really have a lot of worries. You just hope for the best in life.
You’re sometimes a little guilty of being greedy. Spread your luck around a little to people who need it.

You are a seeker. You often find yourself restless – and you have a lot of questions about life.
You tend to travel often, to fairly random locations. You’re most comfortable when you’re far away from home.
You are quite passionate and easily tempted. Your impulses sometimes get you into trouble.

You are truly an original person. You have amazing ideas, and the power to carry them out.
Success comes rather easily for you… especially in business and academia.
Some people find you to be selfish and a bit overbearing. You’re a strong person.

You are usually the best at everything … you strive for perfection.
You are confident, authoritative, and aggressive.
You have the classic “Type A” personality.

You are very intuitive and wise. You understand the world better than most people.
You also have a very active imagination. You often get carried away with your thoughts.
You are prone to a little paranoia and jealousy. You sometimes go overboard in interpreting signals.

You are deeply philosophical and thoughtful. You tend to analyze every aspect of your life.
You are intuitive, brilliant, and quite introverted. You value your time alone.
Often times, you are grumpy with other people. You don’t appreciate them trying to interfere in your affairs.

You are wild, crazy, and a huge rebel. You’re always up to something.
You have a ton of energy, and most people can’t handle you. You’re very intense.
You definitely are a handful, and you’re likely to get in trouble. But your kind of trouble is a lot of fun.

You are a free spirit, and you resent anyone who tries to fence you in.
You are unpredictable, adventurous, and always a little surprising.
You may miss out by not settling down, but you’re too busy having fun to care.

You are well rounded, with a complete perspective on life.
You are solid and dependable. You are loyal, and people can count on you.
At times, you can be a bit too serious. You tend to put too much pressure on yourself.

Apakah Pilihan Saya Melanjutkan Pendidikan Tinggi (Di Jepang) Sudah Tepat??


Hmmmm…..tulisan ini berdasarkan kegundahan saya dan juga naluri saya untuk mencari kebenaran dari pertanyaan yang ada dalam diri ini.

Ada dua pertanyaan besar yang selalu menggelayut di pikiran saya terkait jalan yang saya tempuh saat ini, melanjutkan pendidikan tinggi.

  1. Mengapa saya merasa perlu untuk melanjutkan pendidikan tinggi?
  2. Mengapa pilihan saya jatuh pada tempat saya menimba ilmu sekarang ini?

Saya punya beberapa kolega, kalau bisa dibilang kolega sih, tapi lebih tepatnya orang-orang yang saya segani di kampus dulu dan juga semasa saya kerja. Beliau-beliau ini punya opini yang berbeda-beda yang muaranya adalah dua pertanyaan besar tadi.

Orang yang pertama, semasa saya kerja, opininya menitik beratkan kepada kelangsungan karir saya. Beliau ini bukannya tidak visioner, tapi beliau ini berpikir realistis, seorang realis sejati yang selama hidupnya mengabdikan diri hanya untuk pekerjaan dan memberikan manfaat lewat hasil kerjanya kepada perusahaan yang menaungi beliau. Saat saya punya pikiran untuk melanjutkan pendidikan tinggi, hanya satu hal yang beliau katakan. WHY?? ditambahkan dengan kalimat, YOU SHOULD THINK ABOUT YOUR FUTURE HERE FIRST, MANY WOULD KILL TO ACHIEVE THAT. Baiklah, itu mungkin sebuah kalimat pemanis dari seseorang yang akan ditinggalkan anak buahnya. Tapi saya melihat beliau ini ada benarnya, Buat apa ya saya punya pikiran sekolah lagi? untuk gaya-gayaan kah? Titel berjibun kah (dipasang berderet di undangan nikah/kartu nama) atau kebanggan pribadi? Hambuh, sampai saat ini saya masih menerka-nerka kenapa saya sampai disini saat ini. Yang jelas hal yang membuat saya terus maju adalah rasa haus akan ilmu-ilmu yang baru dan petualangan-petualangan baru yang menanti saya.

Orang yang kedua, terkait dengan pertanyaan yang kedua. Karena beliaunya adalah seorang akademisi, jelas nasehat untuk pertanyaan pertama adalah ANDA HARUS. Tapi tidak demikian untuk pertanyaan kedua. Kata-kata yang sangat menohok hati adalah. WHY JAPAN? Jegeerrr,,bingung jawabnya. Gak mungkin dong saya jawab karena saya suka nonton J-Dorama dan juga saya suka baca-baca tentang sejarah jepang semasa sengoku jidai. Bisa dipiting sampe mati saya….Setelah diskusi (lebih tepatnya diskusi satu arah alias ceramah), saya jadi paham mengapa beliau ini mempertanyakan pilihan saya. Jujur saja, saya gak suka neko-neko dan gak punya ambisi yang besar. Dimana saja tempat yang mau menerima saya maka saya akan berangkat. Toh ini adalah buah dari persaingan mendapatkan sekolah (dan juga beasiswa-nya). Jadi bagi saya ini ibaratnya “The juice is worth the squeeze“.

Ada beberapa hal yang dipertanyakan terkait pilihan saya datang ke Jepang.

1). Riset di jepang adalah applied research, dan arahnya adalah lebih ke bidang praktis daripada pemahaman konsep keilmuan. Jadi kata beliau ini, “Kamu akan kesulitan dalam membuat sesuatu yang visioner dan konseptual dan kamu akan terjebak dalam hal-hal yang detail tanpa bisa bird eye view

2). Bangsa jepang adalah inovator, ini bagus, tapi bukan inventor. Ada hal mendasar dari kedua kata tadi. Yang beliau tegaskan adalah kalimat “bukan inventor”. Yang ini saya terima-terima saja, toh saya tidak berani untuk mendebat karena pemahaman saya tentang arti keduanya masih ada di awang-awang. Yang jelas, implikasi buat saya, kata beliau, adalah saya akan cenderung untuk mengikuti arus saja tanpa bisa membuat arus. Arus apa?? Hambuh…..

3). Saya akan kesulitan belajar, selain memiliki bahasa dan huruf yang “spesial”, Jepang sendiri terkenal sebagai bangsa yang cukup tertutup dalam membagi ilmunya. In terms of balas budi, kata beliau, Jika di Eropa-Amerika style, akan saya diberikan ilmu sedalam-dalamnya sampai saya bisa jalan sendiri dan akhirnya membangun jaringan/network kerjasama dengan mereka dalam “level yang sama”, maka dijepang saya kan terus diposisikan sebagai kolega pada “level dibawahnya”. Akan ada beberapa ilmu yang tidak dibagi dan saya akan dibuat ketergantungan sehingga saya  tidak bisa tidak akan selalu membutuhkan bimbingan.

Ketiga hal diatas inilah yang membuat hati saya cukup gundah sampai saat ini. Sembari saya menjalani saya akan coba cari jawabannya dan jika itu salah maka saya akan buktikan jika itu salah. Tapi jika itu benar maka…yasudah..inilah jalan hidup saya..CMIIW

Terminal Petikemas dan Problematikanya – Part 3: Handling dan Rehandling


Busan_3

Handling dan Re-handling

Sebenarnya, lanjutan posting bagian ketiga ini sudah tertunda cukup lama, rutinitas lama dan rutinitas baru di dunia nyata dan ditambah dengan ngurusin blog “sebelah” membuat saya lupa melanjutkan. Sebenarnya juga, tidak ada maksud posting bagian ketiga secepat ini. Hanya karena “kecelakaan”, pengennya buat draft dulu tapi tanpa sengaja menekan icon “publish”. Yasudah…sekalian basah, saya lanjutkan membahas problem yang satu ini.

Seawam-awamnya orang dengan dunia petikemas, penumpukan barang adalah hal yang lumrah dilakukan pada kesibukan sehari-hari, contohnya menumpuk kardus-kardus di gudang, menumpuk peralatan dapur, atau menumpuk pahala..halah. Demikian juag dengan penumpukan petikemas, ada perbedaan pola penanganan antara barang masuk dan barang keluar, sebut saja export container dan import container. Yang mana, export container adalah barang petikemas yang masuk ke pelabuhan untuk diangkut oleh kapal dan sebaliknya.

Mengambil satu contoh, pada umumnya petikemas ekspor yang masuk ke pelabuhan petikemas akan ditumpuk di lapangan penumpukan berdasarkan : Kapal pengangkut, Ukuran, Berat, Jenis muatan di dalamnya, Urutan kedatangan. Yang paling umum adalah urutan kedatangan dan berat. sudah barang tentu petikemas yang lebih berat akan diletakkan pada posisi dibawah yang ringn, dan petikemas yang datang duluan mendapatkan prioritas untuk ditangani terlebih dahulu (First in First Serve). Pada akhirnya, sembari menunggu kapal pengangkut tiba, seluruh petikemas ekspor untuk kapal yang bersangkutan akan diletakkan pada suatu bagian khusus dan ditumpuk berdasarkan rencana penumpukan di lapangan.

Biaya rendah menyimpan petikemas di stack diimbangi oleh terbatasnya aksesibilitas untuk mengambil petikemas yang menyebabkan biaya lainnya meningkat. Berangkat dari logika ini dapat saya katakan bahwa mengambil tumpukan atas akan lebih murah daripada tumpukan bawah, memberikan tumpukan terendah yang paling mahal dari sisi handling. Salah satu penyebabnya, lagi-lagi adalah re-handling process. Jargon yang berkembang untuk proses pemecahan dari masalah ini adalah container stacking problem. Pertanyaannya, metode apa yang tepat untuk memecahkan?

Tulisan terakhir ini tidak berusaha menjawab pertanyaan tadi, hanya memberikan gambaran masalah-masalah apa yang terjadi selama proses handling tersebut, barangkali suatu saat, beranjak dari tulisan ini saya bisa menemukan jawabanya sendiri.Problem ini sendiri bisa dikategorikan sebagai NP Hard dan dalam beberapa kasus merupakan NP Complete tergantung dari titik melihat permasalahannya. Dynamic atau static problem.

Picture7

Ada beberapa permasalahan yang secara general dapat dilihat dari proses handling ini, saya rangkum dari hasil membaca beberapa makalah dan buku-buku terkait dan saya bahasakan dengan bahasa inggris untuk tidak mengurangi arti.

  1. For Import containers, the pick up schedule from consignee by using outside trailer generally is unknown. Even if it is, the pick up schedule would be informed to terminal in after the containers are stacked in storage area/yard by the terminal operator. It is uncommon practice to conduct truck loosing in a modern container terminal, so import containers need to be stored in designated import storage area inside the yard as soon as it came. This behavior leave no choice to container terminal to do rehandle operation because of different retrieval schedule of each container stored in the yard.

  2. For export containers, there are several problems dealing with FIFO. Problem will arises since that yard stacking is only a temporary stacking and it will soon need to be moved to inside the cell of arriving container ship. This means, the same rules (b) and (c) will be applied for stacking the containers on the ship. Specifically discussing about the rules (b), we can agree that the lower tier in yard stacks will have to retrieve earlier than the other on the top of stack and it will increase rehandle activity of overstowed containers.

  3. Rehandled containers that is placed back to its initial deck position might not be the best solution as it still vulnerable for the lighter containers for rehandle repetition once the heavier containers is scheduled to be retrieved.

  4. There is different container reshuffling method for block system (serve by RTG/RMG) or line system (serve by straddle carrier).

  5. Containers that are placed on top of the required one have to be removed first. Reshuffles (or rehandles) may occur due to several reasons; the most important ones result if data of containers to be stacked are wrong or incomplete. At European terminals up to 30% of the export containers arrive at the terminal lacking accurate data for the respective vessel, the discharge port, or container weight – data which are necessary to make a good storage decision. Even after arrival, vessel and discharge port can be changed by the shipping line. For import containers unloaded from ships the situation is even worse: the landside transport mode is known in at most 10-15% of all cases at the time of unloading a ship, e.g., when a location has to be selected in the yard.

  6. It is possible to give extra space for marshaling export (loading) containers and import (unloading) containers. Because pre-stowage needs extra transportation and extra space allocation which cannot be achieved due to lack of area, it is cost expensive and terminals normally try to avoid it by optimizing the yard stacking, but it is executed when ship loading has to be as fast as possible. Storage and stacking logistics are becoming more complex and sophisticated.

  7. The productivity difference between quay crane and yard crane is another problem, thus inside truck scheduling is important to minimize queue in either export or import containers. In straddle carrier system case, it also need several amount of straddle carrier to serve a single quay crane.

  8. In large container terminal where transshipment cargo is recorded up to 60-70% of total cargo, the container stacking area is scattered, cannot be specifically dedicated to specific ship or destination, therefore container rehandling/reshuffling cannot be avoided.

Lalu seberapa seberapa besarkah implikasi proses rehandling terhadap kinerja operasional di terminal petikemas. Dari hasi penelitian awal yang saya lakukan, bisa saya katakan bahwa jumlah kegiatan re-handling memakan porsi 55% dari keseluruhan proses handling petikemas, dan hal inipun berbanding lurus dengan waktu handling yang akan semakin lama seiring dengan banyaknya proses re-handling yang terjadi.

Picture4

Saya suka membahasakan ini dengan sederhana, yaitu jika proses handling adalah pemasukan (tercantum dalam tarif yang dibebankan kepada pemilik barang/pelayaran) maka proses re-handling adalah biaya bagi terminal petikemas karena itu tidka bisa dibebankan kepada siapapun karena terminal petikemaslah yang mengatur tumpukan dari petikemas-petikemas di areal penumpukan / container yard. Hal inilah yang memicu usaha keras dari operator terminal untuk meminimalisir proses re-handling dengan batasan-batasan yang jelas seperti luas wilayah yang terbatas, jumlah tumpukan maksimum yang juga terbatas dan juga batasan-batasan spesifik lainnya.

Seperti bermain lego, dari sinilah ketertarikan saya bermula untuk memecahkan masalah ini. Bisa nggak ya…??

Referensi:

1). Shinoda, T.,  Hangga, P. (2012): Improvement for container throughput in container terminal by analysis of container handling database, Proceeding of Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan (SENTA) 2012.

2). Shinoda, T., Hangga, P. (2012): Functional Design for Marine Container Terminal Based on Data Analysis of Container Handling, Proceeding of The 4th International Conference on Transportation and Logistic (T-Log), August 23-25, 2012, Busan – South Korea. http://www.t-log2012.info/

3). Shinoda, T., Tanaka, T., Kim, H. (2007): Construction of Container Handling Simulation Model in Container Terminal by Database Analysis, Proceedings of International Maritime Association of the Mediterranean.

4). Shinoda, T., Fukuchi, N., Takeuchi, S. (1998a). “Study on Improving the Efficiency of Container Operation and Functional Assessment of Oversea Container Terminals(Part1) A Simulation of the Container Handling Operation,” J Naval Architects of Japan, Vol 184, pp 631-641.

5). Shinoda, T., Fukuchi, N., et al (1998b). “Study on Improving the Efficiency of Container Operation and Functional Assessment of Overseas Container Terminals(Part2) A Feasibility Study of Overseas Container Terminal,” J Naval Architects of Japan, Vol 186, pp 591-603.

Terminal Petikemas dan Problematikanya – Part 2: Kompleksitas Pergerakan di Areal Penumpukan


IMG_0632

Kompleksitas Pergerakan di Areal Penumpukan

Mari kita cuil bagian yard side dari gambar pada part I. Kali ini saya akan fokus pada penanganan petikemas di areal penumpukan saja, karena berada ditenngah-tengah, dan biasanya yang berada ditengah akan memiliki posisi yang lebih sulit karena menerima masukan/input dan mengeluarkan/output dari kedua sisi lainnya. Akan tampak bahwa peralatan yang digunakan adalah kombinasi T/C dan chassis, baik itu chassis yang berasal dari luar terminal untuk menerima/memberi bongkaran/muatan (sebut saja C/O) maupun chassis yang digunakan hanya di internal CY, sebut saja (Y/C). Kompleksitas yang terjadi adalah petikemas yang berada di areal penumpukan berasal dari berbagai kapal, dan akan diangkut keluar menuju berbagai tujuan. Kesulitan yang dihadapi adalah, waktu pengambilan petikemas bongkaran tidak seragam, dan juga waktu kedatangan petikemas muatan ke terminal juga tidak seragam. Dan sudah tentu akan ada banyak tumpukan petikemas yang punya destinasi yang berbeda-beda.

Kembali kepada masalah tumpukan. Petikemas yang berwarna warni itu ditumpuk-tumpuk bisa menggunakan sistem blok (block) atau sistem lajur (line), yang umum saya lihat di Indonesia adalah menggunakan sistem blok, dimana petikemas ditumpuk memanjang dan melebar dengan jarak yang rekat (cukup untuk orang lewat) dan metode pengambilannya petikemas dari tumpukan menggunakan T/C.Bayangkan sebuah tumpukan blok 3 dimensi. lebar dari blok dinamakan row, panjang blok dinamakan bay, dan tinggi blok dinamakan tier.

Jadi setiap petikemas yang ditumpuk nantinya akan punya identitas lokasi penumpukan, misalnya petikemas X berada di posisi bay 3 row 4 dan tier 3, seperti ilustrasi gambar dibawah. Untuk mengambil sebuah petikemas yang menjadi target, maka T/C akan bergerak maju mundur sampai posisi bay yang diinginkan, setelah itu T/C berhenti dan selanjutnya yang bergerak adalah alat penyebar / spreader. Spreader akan bergerak kiri-kanan (traversing) dan turun-naik (hoisting-lowering) untuk menangkap petikemas target. Mirip sekali dengan permainan menangkap boneka yang biasanya aja di game center.

Picture2

Definisi pergerakan di Terminal Petikemas

Untuk memahami lebih jauh tentang aktifitas yang terjadi di terminal petikemas, khususnya di areal penumpukannya, saya tampilkan secuil penjelasan berupa tabel aktifitas dibawah ini. Setiap pergerakan punya namanya sendiri dan itu memudahkan jika ingin menganalisa seberapa efisien setiap pergerakan dilihat dari sisi waktu, besaran biaya operasi (bisa dalam bentuk konsumsi bahan bakar) atau hasil pergerakan (output/throughput). Fokus utama pergerakan pada tabel dibawah adalah T/C (transfer crane) dan saya sertakan alat bantu yang dikombinasikan dengan T/C sehingga penghasilkan pergerakan petikemas.

Picture6

Supaya lebih jelas saya sertakan juga ilustrasi langkah-langkah pergerakan T/C untuk memindahkan petikemas dari suatu lokasi di tumpukan untuk diserahkan kepada chassis yang sudah menunggu. (Saya senang ilustrasi dan saya masih percaya sebuah gambar bermakna ribuan kata).

Picture3

Kesimpulan yang bisa diambil, dengan kompleksitas pergerakan yang ada (saya baru menjelaskan pergerakan di areal penumpukan/yard side saja), maka sudah tentu diperlukan aransemen atau pola penumpukan petikemas yang baik. Anggaplah bermain lego, maka dari tumpukan lego sebisa mungkin dialokasikan tempat dimana jika kita akan mengambil sebuah lego A dari tumpukan lego A,B,C, tidak perlu membokar tumpukan dan memindahkan lego B dan C. Kesulitan lain yang bisa timbul adalah, dimanakan lego B dan C akan diletakkan untuk sementara. Jangan sampai untuk mengambil 1 lego, banyak lego lainnya yang harus dibongkar pasang. Sederhananya, proses bongkar pasang ini bisa saya sebut dengan penanganan ulang (re-handle/spacing), akan saya sebut RH untuk selanjutnya.

BERSAMBUNG KE PART III

Terminal Petikemas dan Problematikanya – Part 1: Pendahuluan


IMG_0614

Mari kita bicara tentang teknologi. kebetulan saya sedang gundah gulana mengerjakan meneliti segala sesuatu yang berhubungan dengan petikemas : sebuah peti yang berfungsi sebagai kemasan dari muatan di dalamnya. Mengapa ini menarik, karena dengan maju-maju nya Indonesia saat ini, teknologi pengapalan dengan menggunakan kapal niaga (bulk) sudah semakin ditinggalkan, dan pengapalan dengan petikemas menjadi alternatif dan booming sebagai bentuk pencarian efisiensi dalam transportasi barang.

Kalau penumpang atau binatang di petikemaskan itu bisa menyalahi HAM nantinya. Saya tidak akan cerita sejarah kenapa ada petikemas disini, mungkin lain waktu. Yang ingin saya ceritakan adalah kegiatan apa saja yang terjadi di terminal petikemas, tempat dimana terjadi perpindahan barang dari/ke moda darat dan laut. Ini unik karena seperti menghubungkan 2 wahana berbeda tapi punya fungsi yang sama : mengirim barang.

Pendahuluan

Bagi setiap terminal petikemas di seluruh Dunia, persoalan efisiensi selalu menjadi topik bahasan.

Dengan makin besarnya ukuran kapal petikemas yang singgah, tanpa melupakan frekuensi kedatangan kapal-kapal tersebut, maka tingkat pelayanan terhadap muatan (petikemas) sangat-sangat penting jika diukur dari skala waktu pelayanan (handling time) di dermaga. Dalam hal ini aktifitas pelayanan tertumpu pada kegiatan bongkar muat petikemas di sisi dermaga (quay side) dari/ke kapal. Orang seringkali lupa, bahwa terminal petikemas adalah suatu jembatan (bisa saya katakan demikian) dari perpindahan penggunaan moda (alat angkut) darat dan laut jadi penting untuk memandangnya dari sisi yang terintegrasi.

Meskipun dalam prakteknya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada harus memilah-milah berdasarakan skala operasi yang kecil. Berbicara tentang pelayanan yang terintegrasi tersebut, berdasarkan pemahaman saya, pelayanan bongkar muat petikemas di terminal petikemas bisa dikategorikan kedalam 3 bagian mendasar meskipun pda prakteknya jauh lebih kompleks, yaitu Pelayanan di dermaga (quay side operation), pelayanan di lapangan penumpukan / container yard (Yard side), dan pelayanan di sisi darat/pedalaman (hinterland). Lebih jelasnya seperti terlihat pada ilustrasi dibawah.

Picture1

Alat Bongkar Muat

Seperti terlihat pada gambar ilustrasi terminal diatas, banyak sekali peralatan yang digunakan untuk setiap bagian dan semuanya saling berinteraksi. Pada umumnya, pada terminal petikemas modern peralatan yang dipergunakan meliputi keran darat (quay crane/gantry crane) – warna biru , RTG (Rubber tired gantry/) – warna merah, atau sering saya sebut T/C (Transfer Crane) , dan trailer truck -chassis atau biasa saya sebut hanya chassis. Masing-masing saring berinteraksi dan oleh karenanya membentuk suatu sistem bongkar muat dan penumpukan petikemas, lebih jelasnya, cekidot ilustrasi dibawah.

Picture5

Seperti halnya sebuah gudang, areal penumpukan petikemas berfungsi menyimpan petikemas yang akan dimuat ke kapal dan petikemas bongkaran dari kapal dan sifat penyimpanannya hanya sementara. Semakin lama sebuah petikemas disimpan, biaya penyimpanan/storage akan membengkak. Tentu saja yang dirugikan adalah penerima barang/ consignee atau pengirim barang/shipper. Berpikir secara sederhana, maka bisa dianggap keuntunguna akan diperoleh pihak terminal. Tapi jangan salah, kapasitas areal penyimpanan itu terbatas dan bukan hanya muatan/bongkaran milik satu kapal saja yang berada disana.

Manajemen penyimpanan yang kurang baik justru akan menimbulkan biaya tinggi bagi pihak terminal. Seperti halnya dijelaskan dalam teori logistik, untuk meminimalkan biaya, maka sebisa mungkin penyimpanan/storage harus diminimalkan. Barang harus terus bergerak dan jangan sampai “ngendon” lama di suatu tempat. Maka menarik untuk ditinjau kegiatan apa saja yang terjadi di area penumpukan petikemas (CY) ini dan kompleksitas apa yang ada didalamnya.

BERSAMBUNG KE PART II

Buku adalah Gudang “dan” Ilmu


Masihkan kita teringat pepatah jaman SD dulu, “Buku adalah Gudang Ilmu”, atau “Dengan Buku kita Bisa Menjelajahi Ruang dan Waktu”, atau yang lebih ekstrim “Buku adalah Jendela Dunia”

Sebelumnya mari kita kembali kepada esensi dari Buku. Saya ambil dari wikipedia : Book is a written or printed work consisting of pages glued or sewn together along one side and bound in covers. Jadi buku adalah sebuah bundelan kertas kertas yang berisi sebuah hasil karya tulis atau cetak. Terlepas dari apa pun isinya, Buku adalah sebuah buku meskipun isinya berupa propaganda ataupun hal yang berbau porno.

Setelah kembali ke esensi dari Buku, saya akan mengajak anda untuk mencongkel lebih dalam dan nyleneh tentang arti dari frase pertama diawal : Buku adalah Gudang Ilmu. Penelaahan saya pribadi, frase itu terdiri dari 2 kata kunci. Gudang dan Ilmu. Ilmu sudah jelas, apapun yang menambah wawasan bisa dikatakan sebagai ilmu. Tapi Gudang, bisa berarti banyak (secara positif) juga bisa berarti “tempat tumpukan sesuatu yang jarang kita gunakan”.

Berdasarkan definisi dari kata gudang yang kedua inilah saya berkaca kepada diri saya sendiri saat ini. Mengapa begitu banyak tumpukan buku di rak buku saya saat ini, yang tanpa saya sadari beberapa bahkan belum pernah saya buka cover nya semenjak saya beli.

photo1

Bercerita sedikit kebelakang. Saya dibesarkan di keluarga pecinta Buku, Almarhum ayah saya punya 3 sampai 4 Rak buku besar yang isinya buku tentang pertanian, sosial dan komunitas adat. Saya termasuk orang yang dibesarkan juga dengan cerita-cerita pewayangan dan komik/manga jepang dan punya koleksi sendiri untuk hal ini. Selain itu, banyak dari guru-guru saya yang mengajarkan kita untuk berinvestasi dengan buku, dimana sebuah buku yang bagus bisa menjadi modal berharga bagi kita kedepannya untuk mendapatkan pundi-pundi penghasilan. Hal yang mana sudah saya buktikan sekali pada saat masih bekerja 2 tahun lalu.

Tapi kembali lagi kepada tujuan awal dari diciptakannya buku : DIBACA. Buku kalau tidak dibaca hanya menjadi setumpuk kertas yang tidak ada artinya, seberapapun harganya atau nilainya. Itulah masalah yang saya hadapi. Jika tidak ada buku untuk dibaca, tangan ini terasa gatal untuk membeli, tapi bila kebanyakan maka bingung yang mana yang mesti dibaca terlebih dahulu.

Ditambah lagi dengan bacaan wajib saya selama sekolah adalah makalah ataupun artikel dari jurnal-jurnal nasional dan  internasional yang terkait dengan bidang saya. Sayapun jadi ragu, apakah dengan adanya e-book dan e-book readernya bisa membantu kalau untuk mulai membaca saja saya sudah mengalamai kesulitan. Do the amount of money I spent / Invest worth every penny??

Jawabannya, hanya saya, Tuhan dan kemalasan ini yang tahu. Duh Gusti….

//PH

Perut Biasa Dimanja = Penderitaan


Percaya atau tidak (yang percaya gak usah lanjut baca…hehehe)

Bahwa perut yang biasa dimanja akan cenderung melemah dan tidak imun lagi terhadap benda-benda asing. Saya bicara bukan soal ukuran atau diameter, tapi soal isi didalamnya, berupa makanan dan minuman. Kasus ini saya alami sejak seminggu yang lalu.

Ceritanya, saya dapat kesempatan pulang ke Indonesia menemani kolega untuk mengadakan pertemuan dengan beberapa pihak di Jakarta dan Surabaya selama 10 hari. Kapasitas saya disini bukan sebagai pihak yang akan berunding, bukan juga sebagai penerjemah, tapi sebagai penengah bilamana ada salah pengertian antara kedua pihak yang sedang berunding. Yang saya pahami adalah, si kolega saya orang Jepang ini punya kebiasaan manggut-manggut walau kurang mengerti alur pembicaraan dan saya yakin juga dari pihak yang ada di Indonesia kurang sreg jika harus menjelaskan ulang atau bertanya “Apakah anda mengerti penjelasan saya?”. Fungsi saya adalah re-phrasing , bahasa kasarnya = menyederhanakan maksud pembicaraan dengan kalimat yang lebih mudah dimengerti.

Kembali ke masalah awal, tentu saja kesempatan kembali ke Indonesia ini bakalan mubazir jika dilewatkan tanpa mencicipi makanan khas ibu pertiwi, paling tidak bumbu dan rasa masakannya. Saya justru menghindari masakan di hotel, selain karena faktor harga, juga karena makanan di hotel biasanya sudah dikemas lebih ke barat-baratan dibandingkan dengan masakan aslinya. Akhirnya saya pun melanglang buana setiap malam selama di Jakarta dan Surabaya mencari kios-kios makanan lokal yang menarik selera. Mulai dari Gado-gado, Ketoprak, Siomay, Bakso Urat, Mie ayam “Tek-Tek”, CapCay, FuyungHay, Sop Kepala Ikan, Sop Konro, dll. Pokoknya ketemu rumah makan tradisional khas saung-saung gitu, tanpa ba-bi-bu langsung masuk. Kadang mengajak kolega, kadang sendirian atau bersama teman yang kebetulan ada di kota itu.

Picture1

Makanan terakhir yang saya cicipi sebelum perut ini rasanya aneh adalah Buah Durian…Ini buah mungkin gak banyak yang suka tapi bagi saya, 1 bongkol rasanya kurang cukup dimakan sendirian. Dan saya punya kebiasaan mencuci tangan di kulit dalam buah durian itu dan meminum air cuciannya (Ini sudah wasiat turun temurun, entah apa maksudnya). Hasilnya sudah bisa ditebak sesuai kalimat di paragraf awal. Perut saya mulas,melilit, kemudian demam, masuk angin. Pokoknya rasanya mirip-mirip seperti melahirkan (Kata Ibu saya, saya sih gak bakalan pernah merasakan melahirkan).

Bagi saya, hal ini adalah sesuatu yang sangat ganjil dan aneh. Saya ingat betul bahwa saya adalah orang yang kuat makan pedas, kuat makan asam, dan gak gampang kena penyakit macam ini. Hipotesa saya adalah ini karena kecapean atau masuk angin saja jadi kondisi agak drop. Tapi setelah ke dokter dengan sangat terpaksa (setelah 2 hari menahan sakit), Si Ibu Dokter (yang masih muda, cakep, kayaknya single) menganjurkan saya untuk tidak makan yang asam atau pedas karena perut saya tergolong lemah bila memakan makanan yang kurang higienis. Aneh…aneh sekali. Apakah karena sudah dimanja dengan makanan yang higienis (mungkin lebih higienis) ala Negeri matahari terbit, saya tidak bisa makan makanan asli Ibu pertiwi saya?? Sungguh aneh.

Mungkin saya salah tapi saya pribadi berpendapat bahwa ini bukan masalah higienis atau bukan, terlalu asam dan pedas atau tidak. Ini masalah perut yang terlalu dimanja jadinya malah lemah dan ini adalah sebuah penderitaan. Bagaimana tidak. Makanan terenak di dunia yang ada di depan mata tidak bisa dimakan itu adalah penderitaan sebagaimana halnya saya lupa bertanya nama si Ibu Dokter dan nomor telepon kalau ada..hehehehe….Whatever lah, yang penting cepat sembuh saja supaya bisa beraktifitas dengan normal.

Pesan saya buat yang masih belum percaya : Buktikan sendiri….!!! Gak ada noda gak belajar.

//PH

Positive vs Normative Analysis…Apa bedanya


marketanalysis

So…well…

Saya dapat pelajaran baru lagi hari ini tentang bagaimana sebuah analisis terhadap sesuatu dibedakan. Seringkali kita mendengar pada saat kampanye politik, maupun penyampaian laporan organisasi perihal assessment terhadap suatu masalah. Saya ambil contoh dalam bidang saya, marine system, yang berkaitan dengan analisis kepadatan lalu lintas petikemas di lapangan penumpukan.

One might state : ” Lapangan penumpukan kita sudah padat dilihat dari macetnya lalu lintas di dalam lapangan, jadi kita perlu menambah lagi wilayah/areal penumpukan untuk meningkatkan daya saing dengan pelayaran lain”

The other might state differ : “Tidak, melihat YOR (Yard Occupancy Ratio) yang masih dibawah 50% saya rasa masih bisa menampung hingga 20% lagi sebelum kita berpikir menambah areal penumpukan petikemas, mungkin kita harus mengkaji ulang pola peletakan petikemas (yard management)”

Dengan membandingkan kedua pernyataan tadi saya bisa katakan bahwa pernyataan pertama adalah normative analysis dan pernyataan kedua adalah positive analysis. Dimana bedanya. Mari kita lihat secara terminologi (sengaja tidak saya terjemahkan kedalam bahasa Indonesia untuk menghindari distorsi karena ilmu penerjemahan saya masih ecek-ecek)

Normative analysis : Prescriptive nature and value-based statements that usually use factual evidence as support but are not by themselves factual. Instead, it incorporating opinions and underlying moral and standards. It refers to the process of making recommendations about what action should taken or taking a particular view point on a topic

Positive analysis : Descriptive, factual statements that uses principles or technique to arrive at objective, testable conclusions. It does not literally refer to be a positive result, but what is delivered is based on factual data”

Saya tidak akan mengatakan salah satu dari kedua pernyataan yang saya berikan diatas adalah salah, tapi dari segi apa si pemberi pernyataan melihatnya. Apakah berdasarkan asumsi probadi dan sebuah visi/tujuan tertentu ataukah berdasarkan data yang ada dengan mengesampingkan tujuan yang sifatnya masih abstrak untuk diraih. Dalam dunia kerja, saya seringkali berdebat dengan rekan setim dalam hal ini. Dimana, saya selalu berpegang pada data dan teknik yang digunakan untuk membuktikan data itu benar dan bisa dipertanggung jawabkan sementara pihak yang lain mendorong terciptanya suatu hal dengan asumsi normatif dengan menomor duakan data yang ada.

Lalu apakah yang ingin saya katakan?? Yang ingin saya katakan disini adalah kedua analisis tersebut jika memiliki tujuan yang sama maka akan tercipta kolaborasi yang baik. Sebuah Normative analysis bisa lebih baik hasilnya jika dipakai sebagai pedoman dan dilaksanakan ketimbang memperhatikan positive analysis dari suatu masalah, dan juga sebaliknya. Ini tergantung dari subyektifitas dan/atau obyektifitas si pengambil keputusan. Dalam kasus kedua pernyataan diatas, pernyataan pertama tersirat visi untuk memperkuat posisi perusahaan ditengah persaingan dengan perusahaan sejenis lain, sementara pernyataan kedua menitik beratkan pada data dan fakta bahwa kondisi saat ini masih bisa diperbaiki lagi dengan mengutamakan faktor efisiensi penggunaan lahan untuk mencegah timbulnya sunk cost dan biaya kapital yang lebih tinggi.

Dalam contoh sederhana yang lain, misalnya dalam hal peratingan (tanpa bermaksud menyinggung masalah teori/logika fuzzy), misalkan sebuah pilihan rating berdasarkan kategori bad/good/excellent, sementara model peratingan lainnya menggunakan nomor indeks kepuasan pelanggan dari 1-10. Untuk orang awam, kedua model peratingan bisa jadi sama nilainya, tapi bagi penilai/auditor/assessor bisa jadi pilihan kedua memberikan gambaran yang lebih jelas tentang rating yang sebenarnya.

Contoh yang lain adalah tingkat pengangguran (seperti yang dicontohkan kepada saya). dengan menyebut “tingkat pengangguran saat ini adalah 20%”, adalah sebuah positive statement, sedangkan menyebut “tingkat pengangguran sangat tinggi sehingga perlu corrective action untuk meningkatkan jumlah lapangan kerja” adalah sebuah normative statement.

Jadi…silahkan dipilah-pilah sendiri analysis yang ada di media cetak,online, sebagaimana halnya kita memilah-milah antara laki-laki, perempuan dan ganda campuran 🙂

Its just random…

/PH

How straight forwardness is unlikely can be seen when you say Love in Japanese


cropped-road-to-kuju-06611.jpg

I’ve learn an important lesson yesterday on how the Japanese people were taught not to be straight forward when speak to another person.

For example, when they are expressing likeness or love to someone, usually they would say something like this

Ore, kimi no koto o, Suki da wa” or “Atashi, (person name) no koto wa suki desu“, which literally can be translated as “I like the thing about you”

This kind of expression is more a diverted version of “Watashi wa anata ni suki desu” in japanese, or “I Like you” or “I Love you” in english, or “Aku suka padamu” or “Gw suka sama elo” in Indonesia/Slang Indonesian. Although some person would also say something similar in english like “I like everything about you” in real life.

The matter with me is that, when somebody say like that (with the word “koto“/”thing“) to me, I would automatically reply the statement with “Nani koto?”/”what thing?” because its an ambiguity for me. What thing(s) inside of me that this person like…..

Nevertheless, there are another beautiful expression or some would say –>phrase that Japanese language have, which I just learn. I do not know the detail but my friend said It was the expression that is usually use in some novel or literature and seldom used in real life (But some people might have exercised it).

For example, related to the Love/Like thing : “Tsuki ga kirey desune“, which literally means “The moon looks beautiful” but that sentence is intentionally should mean “You are beautiful just like the moon and therefore I like you“. This can be the expression to compare the person that they like to the moon, which is beautiful. Just like borrowing another object characteristic that you like and compare its likeness similarity to the subject who you speak to.

CMIIW. This is just an example of how they are taught not to be straight forward. People can find another example of this in many literature or daily life.

Bahasa Indonesia or even English have also these kind of sentence, but I think we like to be more straight forward to say something about love or likeness. Personally I prefer to use more straight forward sentence / to the point in order not to let ambiguity comes up, or just in order to express exactly what i feel about something.

For example, In Bahasa Indonesia I would say “kepala batu” in exhange of “keras kepala” to a stubborn friend, comparing the hardness and inflexible of their thought, not because their head is as hard as a stone/rock.

Its just culture.

Peace

PS:  Dont ever use the sentence “Ii tenki desune” /”The weather is good”/”Cuacanya cerah ya” to express your love. It would mean nothing to the subject. Hehe 🙂